Sudah Dewasakah Aku?

Ada yang mengatakan bahwa kedewasaan seseorang tidak terkait dengan usia. Artinya ada orang yang usianya sudah tua tetapi kalah dewasa dengan yang masih muda. Misal ada anak kuliahan yang tingkat kedewasaannya justru di bawah anak yang masih berseragam putih abu-abu. Ada anak kecil yang ternyata kedewasaannya melebihi usianya. Marc & Angel (2007) mengemukakan bahwa kedewasaan seseorang bukanlah terletak pada ukuran usianya, tetapi terletak pada sejauh mana tingkat  kematangan emosional yang dimilikinya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kematangan emosi seseorang (Astuti, 2000, Faktor-faktor yang mempengaruhi Kematangan Emosi, para. 1), antara lain:

a Pola asuh orang tua

Keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan dirinya sebagai makhluk sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat anak dapat berinteraksi. Dari pengalaman berinteraksi dalam keluarga ini akan menentukan pula pola perilaku anak. Biasanya anak yang tumbuh dalam pola pengasuhan orang tua yang sering memanjakannya akan lebih lambat dewasa. Sebaliknya pola pengasuhan yang relatif lebih disiplin akan lebih membuat seorang anak bisa bersikap dewasa.

b.Pengalaman traumatik

Kejadian-kejadian traumatis masa lalu dapat mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Kejadian-kejadian traumatis dapat bersumber dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar keluarga.

c.Temperamen

Temperamen dapat didefinisikan sebagai suasana hati yang mencirikan kehidupan emosional seseorang. Pada tahap tertentu masing-masing individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, dimana temperamen merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia. Bagaimana seseorang mengelola suasana hati ini menjadi salah satu tolok ukur tentang tingkat kedewasaan seseorang. Tentu kita akan mengatakan ‘terlalu kekanak-kanakan’ terhadap seseorang yang selalu marah-marah ketika menghadapi persoalan dan justru melimpahkan kesalahan kepada orang lain. Dalam pikiran kita bahwa orang tersebut belum bisa mengelola suasana hati.

d. Jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan dengan adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, peran jenis maupun tuntutan sosial yang berpengaruh terhadap adanya perbedaan karakteristik emosi diantara keduanya. Umumnya wanita dikatakan akan lebih cepat dewasa dibandingkan pria. Coba kita lihat saja, anak-anak perempuan setingkat SLTP akan jauh terlihat dewasa daripada teman-teman laki-lakinya. Semakin bertambah usia maka tingkat kedewasaannya semakin berjarak. Maka tak heran jika dalam memilih pasanganpun umumnya akan wanita akan memilih pria dengan jarak usia 4-6 tahun di atasnya. Karena dianggap bahwa dengan jarak tersebut tingkat kematangan emosi antara pria dan wanita bisa seimbang.

e. Usia

Meskipun dikatakan bahwa usia tidak berkaitan langsung dengan tingkat kedewasaan tetapi perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang sejalan dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang. Jadi hal ini sebenarnya tetap ada korelasi dengan apa yang dinyatakan oleh Marc & Angel (2007) tersebut. Memang benar bahwa tingkat kedewasaan tidak terkait dengan usia seseorang, tetapi tentu kita juga setuju bahwa bagi seseorang pertambahan usia juga diikuti oleh perkembangan kematangan emosinya. Seseorang yang berusia 25 tahun pastinya akan jauh lebih bisa bersikap dewasa bila dibandingkan ketika ia masih berusia 15 tahun. Tetapi ketika membandingkan antar personal maka di sinilah inti apa yang kita bahas. Bahwa seseorang yang berusia 25 tahun, misalnya, boleh jadi tidak lebih dewasa dari orang lain yang mungkin usianya baru menginjak 20 tahun.

Tingkat kedewasaan seseorang memang tidak hanya dipengaruhi oleh salah satu faktor saja. Tetapi hampir melibatkan semua faktor di atas. Misalkan pada poin 4 disebutkan bahwa wanita cenderung lebih cepat dewasa daripada pria. Tetapi pada kenyataannya kita juga menjumpai seorang wanita usia 25 tahun tetapi tingkat kedewasaannya setara dengan pria yang berusia 20 tahun. Maka bisa jadi pola asuh orangtua atau lingkungan tempat tinggalnya yang lebih berpengaruh.

Lalu bagaimana sih seseroang itu dikatakan dewasa? Ciri-cirinya seperti apa saja? Berikut ini pemikiran dari Marc & Angel (2007) tentang ciri-ciri atau karakteristik kedewasaan seseorang yang sesungguhnya  dilihat dari kematangan emosionalnya.

  1. Tumbuhnya kesadaran bahwa kematangan bukanlah  suatu keadaan tetapi merupakan sebuah proses berkelanjutan dan secara terus menerus berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan diri.
  2. Memiliki kemampuan mengelola diri  dari perasaan cemburu dan iri hati.
  3. Memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan mengevaluasi dari sudut pandang orang lain.
  4. Memiliki kemampuan memelihara kesabaran dan fleksibilitas dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Memiliki kemampuan menerima fakta bahwa seseorang tidak selamanya dapat menjadi pemenang dan mau belajar dari berbagai kesalahan dan kekeliruan atas berbagai hasil yang telah dicapai.
  6. Tidak berusaha menganalisis  secara berlebihan atas hasil-hasil negatif yang diperolehnya, tetapi justru dapat memandangnya sebagai hal yang positif  tentang keberadaan dirinya.
  7. Memiliki kemampuan membedakan antara pengambilan keputusan rasional dengan dorongan emosionalnya (emotional impulse).
  8. Memahami bahwa tidak akan ada kecakapan atau kemampuan tanpa adanya  tindakan persiapan.
  9. Memiliki kemampuan mengelola kesabaran dan kemarahan.
  10. Memiliki kemampuan menjaga perasaan orang lain dalam benaknya dan berusaha  membatasi sikap egois.
  11. Memiliki kemampuan membedakan antara kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants).
  12. Memiliki kemampuan menampilkan keyakinan diri tanpa menunjukkan sikap arogan (sombong).
  13. Memiliki kemampuan mengatasi setiap tekanan (pressure) dengan penuh kesabaran.
  14. Berusaha memperoleh kepemilikan  (ownership) dan bertanggungjawab atas setiap tindakan pribadi.
  15. Mengelola ketakutan diri (manages personal fears)
  16. Dapat melihat berbagai “bayangan abu-abu”  diantara ekstrem hitam dan putih dalam setiap situasi.
  17. Memiliki kemampuan menerima umpan balik negatif sebagai alat untuk perbaikan diri.
  18. Memiliki kesadaran akan ketidakamanan  diri dan harga diri.
  19. Memiliki kemampuan memisahkan perasaan cinta dengan birahi  sesaat.
  20. Memahami bahwa komunikasi terbuka adalah kunci kemajuan

Nah demikian pembahasan kita mengenai Kedewasaan. Yang pasti kedewasaan itu perlu kita miliki sebagai seorang manusia agar bisa menjalani hidup dengan baik. Secara umum bahwa kedewasaan itu lebih terkait kepada sikap kita dalam menghadapi sesuatu baik itu berupa manusia ataupun permasalahan.

 

 

 

 

Menjadikan Kritik Seenak Kripik

Kritik. Tidak semua orang suka. Bahkan beberapa sangat anti terhadap yang satu ini. Kritik sebagaimana kita pahami adalah suatu perkataan yang ditujukan kepada kita terkait suatu hal yang tidak benar dari diri kita dan perlu diluruskan. Tentu motif kritik pada asalnya adalah untuk perbaikan. Jika ini motifnya maka kita perlu mengapresiasi sang pengkritik alih-alih merasa tersinggung. Karena dengan adanya kritik, maka akan membantu pengembangan diri kita. Tetapi ada juga orang yang mengkritik dengan motif untuk menjatuhkan harga diri seseorang di depan umum, selain itu sekaligus untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dia lebih baik dari yang dikritik. Nah kalau sudah begini maka kritik tidak lagi membangun, tetapi justru akan mematikan karakter seseorang. Perlu dihindari model kritik yang seperti ini.

Selain dari motifnya, efektifitas kritik juga ditentukan oleh situasi dan kondisi. Hindari memberi kritik di depan umum berkaitan kritik pribadi seseorang. Hal ini akan kontraproduktif dengan fungsi kritik. Selain itu kritik juga perlu disampaikan dengan cara yang santun, tidak terkesan menghakimi dan menyudutkan. Kritik bagaimanapun juga pada awalnya akan menyebabkan hati panas dan tak jarang membuat kita tidak suka kepada si pengkritik. Nah bagaimana caranya agar kritik yang kita terima dapat kita rasakan seenak kripik? Mari kita bahas bersama.

1. Persiapkan diri menerima kritik

Mempersiapkan diri artinya kita siap menerima kritik seberapapun pedasnya kritik tersebut. Setiap kali ada kritik kita selalu siap menerimanya dengan lapang hati. Tapi masalahnya kritik kadang datang tanpa diduga dan tidak pandang tempat dan waktu. Untuk itu kita perlu membuka hati dan menyadari bahwa kita manusia sangat berpotensi salah. Dengan kesadaran seperti ini maka kita akan siap menerima kritik kapanpun itu.

2. Dengarkan kritik sebagaimana mendengarkan cerita

Anggap saja setiap kritik yang kita terima sebagai cerita. Anggap si pengkritik sedang memberikan kritiknya kepada orang lain, tetapi disampaikan melalui kita. Dengan demikian kita akan meminimalisir rasa sebagai tersangka dan tertuduh. Barulah nanti ketika kita sudah bisa memahami isinya, kita terapkan kritikan itu kepada diri kita. Memang kita terlahir dengan sikap refleks defensif (mempertahankan diri) dalam menanggapi hal yang menyerang kita. Terlebih dalam menghadapi kritik, tentu saja reaksi kita adalah menyangkal kritik tersebut secepat mungkin, sesegera yang kita bisa. Tapi tentu saja hal ini akan menyebabkan sang pengkritik merasa menghadapi batu karang dan mungkin tidak akan melanjutkan kritikannya. Dan akhirnya kita tidak akan mendapat versi lengkap kritikan tersebut dan tentu akan membuat diri kita dianggap anti kritik.

3. Ucapkan terimakasih kepada si pengkritik

Alih-alih kita menunjukkan sikap defensif ada baiknya kita ucapkan terima kasih kepada si pengkritik. Terima kasih atas saran yang diberikan dan atas waktu yang diluangkan untuk memberikan kritik kepada kita. Anggap itu sebagai sebuah bentuk kepedulian dia kepada kita. Karena tidak setiap orang mau memberikan kritik. Entah karena tidak kenal atau karena tidak peduli.

4. Pahami dan renungi isi kritikan lalu pahami keadaan kita dan laksanakan

Pahami dan renungi isi kritikan lalu lihatlah diri kita. Apakah memang yang disampaikan itu benar sesuai keadaan kita atau hanya persangkaan si pengkritik saja. Tapi kita harus jujur pada diri sendiri. Tidak perlu defensif. Jikamemang kritik itu sesuai keadaan kita maka ada baiknya kita laksanakan. Tapi jika memang hanya persangkaan saja maka tidak perlu menjadi beban. Tak perlu juga  menganggap si pengkritik mengada-ada dan hanya ingin menjatuhkan kita.

Nah itu dia empat hal yang akan membuat kritik seenak kripik. Semoga kita menjadi orang-orang yang terbuka terhadap kritik. Hati-hati dengan sikap defensif yang justru akan merugikan diri kita sendiri dan bisa menjadikan diri kita dianggap anti kritik. Kalau bisa seenak kripik kenapa juga kritik dibuat pahit? Kan? 🙂