S E N J A

Senja. Siapakah gerangan yang meragukan keindahannya? Siapakah dia yang tiada terpikat oleh jingganya? Senja selalu menawarkan eksotisme. Kita, aku dan kau, sepakat bahwa senja adalah momen terindah untuk melepas segala penat. Duduk di tepian sawah, bertatap dengan silau mentari sore, bersenandung gemerisik bulir-bulir padi yang mulai menguning. Dan kita duduk berdua saja di pematang. Tak ada seorangpun kan mengganggu. Kita begitu menghayati peran sebagai pencinta senja. Tak ada suara antara kita. Diam. Ya hanya diam. Masing-masing kita berbisik kepada jingga yang menjulurkan tangannya memeluk hati. Menyatukan bisik cinta di ujung kemilaunya.

Namun senja tak selalu secantik itu. Kala sendiri, senja justru menakutkanku. Senja selalu menjadi momok bagiku. Bagaimana tidak. Senja mulai merayuku. Kau tahu, tangan-tangan jingga yang menjulur itu tak sekedar memeluk hati. Ia ingin mencurinya dariku. Kemilau cahayanya tak sekedar menatapku. Ia ingin menghapus bayang wajahmu di sana. Bisik cinta di ujung kemilaunya tak lagi menyampaikan tutur katamu. Ia membisikkan dari hatinya sendiri. Kau tahu ia pernah bilang mencintaiku.

Aku takut bila harus menikmati senja sendirian. Aku butuh dirimu, setidaknya agar hatiku tak dicuri. Dan sebagai hadiahnya tentu kau tidak keberatan kan bila namamu aku ukir dalam hatiku. Ya hanya sebagai penanda bahwa kau yang telah menyelamatkan hatiku.

senjagambar diambil dari : https://c2.staticflickr.com/6/5008/5284851005_e1911f9448_b.jpg

Leave a comment